Model Empiris Perpindahan Massa Oksigen pada Compressed Air Aerator untuk Tambak Udang

PENDAHULUAN

  1. 1.      Latar Belakang

Usaha budidaya udang mempunyai syarat optimum kandungan oksigen terlarut dalam air agar udang bisa hidup dan berkembang di dalam tambak/ tempat budidayanya. Menurut Mizar (1997), batas optimum kandungan oksigen terlarut dalam air dalam budidaya udang sebanyak 4,5 mg sampai dengan 7,5 mg dalam 1 liter air. Untuk memenuhi syarat optimum kandungan oksigen tersebut salah satunya menggunakan aerator yang bisa mentransfer oksigen ke air dengan cara mempercepat proses difusi (Boyd,1979).

Hasil penilitian yang dilakukan oleh Ahmad (1987), menunjukkan adanya perbedaan konsentrasi oksigen di dasar dan dipermukaan tambak, dimana laju penurunan maupun kenaikan oksigen terlarut terjadi lebih cepat di permukaan. Compressed Air Aerator merupakan salah satu alat yang sering digunakan untuk budidaya udang karena kemampuannya yang bisa menjangkau aerasi sampai ke dasar tambak. Permasalahan yang dihadapi adalah biaya untuk membeli alat ini tidak murah karena harus mengimpor dari luar. Salah satu pemecahannya adalah dengan membuat sendiri atau melakukan pengembangan peralatan aerator tersebut sesuai kondisi di Indonesia.

Menurut Hammer (1986), nilai koefisien laju perpindahan massa oksigen ke air (K) tergantung pada karakteristikaerator yang digunakan, sifat air, dan kedalaman air. Sehingga diperlukan model empiris untuk mempermudah mendapatkan nilai K yang paling optimal untuk keperluan pembuatan atau modifikasi aerator.

Kreith (1991) menjelaskan bahwa harga koefisien perpindahan massa sebaiknya ditentukan secara eksperimen . Persamaan yang menghubungkan koefisien perpindahan massa dengan sifat-sifat sistem dapat diturunkan melalui analisis dimensional. Koefisien tersebut akan menjadi fungsi dari kecepatan, kerapatan, viskositas, difusivitas, dan karakteristik dari peralatan pada sistem tersebut. Dengan demikian diharapkan bahwa persamaan perpindahan massa tersebut akan berubah dengan sifat-sifat fisik fluida serta karakteristik peralatannya.

Pada tahun 1996, M. Alfin Mizar mengkaji perpindahan massa oksigen oleh Compressed Air Aerator dengan melakukan beberapa perlakuan pada aeratornya dan kedalaman air. Perlakuan yang digunakan antara lain perlakuan besarnya tekanan udara yang keluar kompresor (P), yakni: 10 Psi (P1), 20 Psi (P2), dan 30 Psi (P3). Perlakuan yang kedua adalah dengan merubah diameter lubang nosel (do), yakni: 1mm (do1), 2mm (do2), dan 3mm (do3). Perlakuan yang ketiga adalah dengan merubah kerapatan jumlah nosel tiap satuan luas (r), yakni: 12/m2 (r1), 14/m2 (r2), dan 16/m2 (r3). Terakhir, perlakuan yang keempat adalah dengan menempatkan aerator-aerator tersebut pada kedalaman air yang berbeda (H), yakni: 1,5m (H1), 1m (H2), dan 0,75m (H3). Dari hasil penelitian tersebut diperoleh nilai K yang berbeda-beda pada masing-masing perlakuan. Nilai K yang paling besar terdapat pada perlakuan P3, do1, r3, dan H3. Berdasarkan pengamatan Mizar tersebut bisa diperoleh persamaan empirisnya untuk mempermudah mendapatkan spesifikasi teknis dari aerator  yang paling baik tanpa harus melakukan perlakuan-perlakuan yang bisa menghabiskan waktu, tenaga, dan biaya.

  1. 2.      Tujuan
    1. Memperoleh variabel-variabel yang berpengaruh terhadap kemampuan aerator jenis Compressed Air Aerator dalam melarutkan oksigen ke dalam air,
    2. Membuat model empiris untuk nilai koefisien laju perpindahan massa oksigen ke air (K),
    3. Mendapatkan spesifikasi teknis aerator yang paling baik.

METODOLOGI

Metode yang digunakan untuk medapatkan model empiris dari persamaan koefisien laju perpindahan massa oksigen ke air pada Compressed Air Aerator adalah sebagai berikut :

  1. Mengungkapkan variabel-variabel yang terkait
  2. Melakukan analisis dimensional, sehingga menghasilkan sekumpulan persamaan-persamaan tak berdimensi (π)
  3. Menguji validitas bentuk persamaan umum π
  4. Mengumpulkan nilai K di beberapa perlakuan yang diperoleh dari pengamatan Mizar sebelumnya.
  5. Membuat spreedsheet pada excel dan dengan pendekatan Least-square menggunakan toolsolver dibentuk persamaan empirisnya.
  6. Menguji ketepatan persamaan prediksi dengan membandingkan antara K-Mizar dan K-Prediksi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

  1. 1.      Analisis Variabel yang Terkait

Dari penelitian sebelumnya variabel tekanan udara keluar kompresor, diameter lubang nosel, kerapatan jumlah nosel per satuan luas, dan kedalaman air menunjukkan dapat mempengaruhi nilai koefisien laju perpindahan massa oksigen ke air (K). Maka variabel-variabel tersebut harus diperhitungkan dalam persamaan K.

Aerator merupakan alat mekanis yang menghasilkan gelembung udara dan mempunyai fungsi untuk mempercepat proses difusi. Proses difusi disini merupakan peristiwa mengalirnya/berpindahnya oksigen dalam air. Dengan pertimbangan ini variabel koefisien difusi oksigen ke air harus diikutsertakan dalam persamaan K.

Sifat-sifat fluida yang perlu diperhitungkan antara lain tegangan permukaan air, viskositas udara, viskositas air, dan rapat massa air. Tegangan permukaan air adalahgaya yang diakibatkan oleh suatu benda yang bekerja pada permukaan zat cair sepanjang permukaan yang menyentuh benda itu. Tegangan permukaan berbanding terbalik dengan koefisien difusifitas udara dalam lingkungan yang sama. Viskositas atau kekentalan dari suatu cairan adalah salah satusifatcairanyang menentukanbesarnyaperlawananterhadapgayageser. Viskositas terjadi terutama karena adanya interaksi antara molekul-molekul cairan.Rapat massa (ρ) adalah ukuran konsentrasi massa zat cair dan dinyatakandalam bentuk massa (m) persatuan volume (V).

Pada Tabel 1 diperlihatkan beberapa variabel yang diduga mempengaruhi koefisien laju perpindahan massa oksigen ke air (K). Secara umum pemilihan variabel-variabel tersebut dibagi ke dalam tiga sumber, yakni spesifikasi teknis aerator dan sifat-sifat fluida dalam hal ini adalah air dan udara/gas.

Tabel 1. Variabel-variabel yang diduga mempengaruhi K

  1. 2.      Grup tak berdimensi (π), metode Buckingham

Metode Buckingham dapat digunakan untuk bentuk konstanta variabel tak berdimensi. Jika m buah penomena varibel yang mempengaruhi dapat diekspresikan dalam n suku satuan dasar, kemudian dimasukkan kedalam grup m variabel untuk membuktikan (m-n) konstanta tak berdimensi. Oleh Buchingkam konstanta ini disebut sebagai π1, π2, dan πn.

Banyaknya fenomena variabel pada kasus ini ada 11 variabel, dengan 3 satuan dasar (M,L, dan T) sehingga jumlah grup tak berdimensi adalah 8 (π1, π2, π3, π4, π5, π6, π7, π8).

Setelah mendapatkan jumlah grup tak berdimensi, maka ditentukan variabel pengulangannya. Dalam menentukan variabel pengulangan memperhatikan sifat geometrik, kinematik, dan dinamik untuk memudahkan analisis. Karena jumlah suku π adalah 8 maka variabel pengulangannya ada 3. Atas hal tersebut maka dipilih do, ρ, dan μL sebagai variabel pengulangan.

  1. π1= F = φ(do, ρ, μL,K)

M0L0T0 = La(ML-3)b(ML-1T-3)cT-1

Untuk satuan M : 0 = b + c ; b = 1/3

Untuk satuan L : 0 = a-3b-c ; a = 2/3

Untuk satuan T : 0 = -3c-1 ; c = -1/3

π1 = do2/3ρ1/3μL-1/3K

 

  1. π2 = F = φ(do, ρ, μL,P)

M0L0T0 = L(ML-3)b (ML-1T-3)c   ML-1T-2

Untuk satuan M : 0 = b + c +1 ; b = -1/3

Untuk satuan L : 0 = a-3b-c-1 ; a = -2/3

Untuk satuan T : 0 = -3c-2 ; c = -2/3

π2 = do-2/3ρ-1/3μL-2/3P

  1. π3 = F = φ(do, ρ, μL,r)

M0L0T0 = L(ML-3)b (ML-1T-3)c   L-2

Untuk satuan M : 0 = b + c ; b = 0

Untuk satuan L : 0 = a-3b-c-2 ; a = 2

Untuk satuan T : 0 = -3c ; c = 0

π3 = do2r

  1. π4 = F = φ(do, ρ, μL,H)

M0L0T0 = L(ML-3)b (ML-1T-3)c   L1

Untuk satuan M : 0 = b + c ; b = 0

Untuk satuan L : 0 = a-3b-c+1 ; a = -1

Untuk satuan T : 0 = -3c ; c = 0

π4 = do-1H

  1. π5 = F = φ(do, ρ, μL,D)

M0L0T0 = L(ML-3)b (ML-1T-3)c   L2T-1

Untuk satuan M : 0 = b + c ; b = 1/3

Untuk satuan L : 0 = a-3b-c+2 ; a = -4/3

Untuk satuan T : 0 = -3c-1 ; c = -1/3

π5 = do-4/3ρ1/3μL-1/3D

  1. π6 = F = φ(do, ρ, μL,σ)

M0L0T0 = L(ML-3)b (ML-1T-3)c   MT-2

Untuk satuan M : 0 = b + c+1; b = -1/3

Untuk satuan L : 0 = a-3b-c ; a = -5/3

Untuk satuan T : 0 = -3c-1 ; c = -2/3

π6 = do-5/3ρ-1/3μL-2/3σ

  1. π7 = F = φ(do, ρ, μL,μG)

M0L0T0 = L(ML-3)b (ML-1T-3)c   ML-1T-3

Untuk satuan M : 0 = b + c+1; b = 0

Untuk satuan L : 0 = a-3b-c-1 ; a = 0

Untuk satuan T : 0 = -3c-3 ; c = -1

π7 = μL-1μG

  1. π8 = F = φ(do, ρ, μL,g)

M0L0T0 = L(ML-3)b (ML-1T-3)c   LT-2

Untuk satuan M : 0 = b + c; b = 0

Untuk satuan L : 0 = a-3b-c+1 ; a = 1/3

Untuk satuan T : 0 = -3c-2 ; c = -2/3

π8 = do1/3ρ2/3μL-2/3g

 

  1. 3.      Pengujian validitas masing-masing grup tak berdimensi.

Pengujian validitas masing-masing grup tak berdimensi adalah dengan mencek keseluruhan π sehingga tidak ada satuan dasar yang mempunyai nilai/dimensi (M=0, L=0, T=0). Jika hasil akhirnya masih terdapat nilai/dimensi (satuan dasar tidak sama dengan 0) maka pembentukan grup tak berdimensi harus diulang.

Dari hasil validasi, semua satuan dasar dari grup tak berdimensi menunjukan nilai 0. Maka, grup tak berdimensi yang dibentuk dikatakan valid.

  1. 4.      Mencari nilai K dengan pendekatan Least Square (dibantu Solver pada excel)

Nilai K terdapat pada fungsi π1, maka dibentuk fungsi baru sehingga bisa dibentuk persamaan K.

π1 = f (π2, π3, π4, π5, π6, π7, π8)

                        Berdasarkan analisis pendekatan Least Square yang dibantu dengan Solver, diperoleh nilai dari a, b, c, d, e, f, g, dan konstanta untuk persamaan K, sebagai berikut :

Dengan mensubstitusikan nilai-nilai tersebut ke persamaan K, maka dapat dibentuk persamaan baru seperti di bawah ini:

Validasi dimensi dapat dilakukan untuk meyakinkan apakah persamaan baru yang dibentuk sesuai atau menyimpang. Berikut ini adalah hasil dari validasi dimensi persamaan baru di atas.

Tabel 2. Validasi dimensi persamaan K-Prediksi

Berdasarkan Tabel 2, dimensi untuk K telah sesuai (T-1) maka dari sisi analisis dimensi, persamaan K yang baru dapat dikatakan valid.

  1. 5.      Pengujian ketepatan K-Prediksi terhadap K-Mizar

Berdasarkan persamaan K-Prediksi  yang telah dihasilkan, dapat diperoleh nilai-nilai K-Prediksi untuk berbagai kombinasi perlakuan yang secara bersama-sama dengan nilai K-Mizar (nilai K berdasarkan pengamatan Mizar,1996) dapat dituangkan ke dalam Tabel berikut ini.

Tabel 3. Nilai K-Mizar dan K-Prediksi (per Jam)

K (per jam)

H1

H2

H3

K-Mizar

K-Pred

K-Mizar

K-Pred

K-Mizar

K-Pred

r1,do1

P1

0,6752

0,6537

0,6904

0,7139

0,8578

0,7599

P2

0,7586

0,8437

0,8699

0,9214

0,9638

0,9808

P3

0,9256

0,9795

0,9567

1,0697

1,0791

1,1387

r1,do2

P1

0,5578

0,5527

0,6362

0,6036

0,7669

0,6426

P2

0,7266

0,7134

0,7762

0,7791

0,8387

0,8294

P3

0,8338

0,8283

0,8572

0,9045

0,8915

0,9629

r1,do3

P1

0,5408

0,5011

0,5965

0,5472

0,6503

0,5825

P2

0,6276

0,6467

0,6860

0,7063

0,6994

0,7519

P3

0,8001

0,7508

0,8088

0,8200

0,8882

0,8729

r2,do1

P1

0,7241

0,8137

0,7935

0,8886

0,8579

0,9460

P2

1,0974

1,0502

1,1798

1,1470

1,1318

1,2210

P3

1,2478

1,2193

1,2509

1,3316

1,5743

1,4175

r2,do2

P1

0,7053

0,6880

0,7789

0,7514

0,7854

0,7999

P2

0,8917

0,8881

0,9073

0,9699

1,0991

1,0324

P3

1,0437

1,0310

1,0642

1,1260

1,3696

1,1987

r2,do3

P1

0,6252

0,6237

0,7255

0,6812

0,7309

0,7251

P2

0,8532

0,8051

0,9030

0,8792

1,0674

0,9360

P3

0,9074

0,9347

1,0581

1,0208

1,2473

1,0866

r3,do1

P1

0,9836

0,9837

1,1923

1,0743

1,2502

1,1436

P2

1,3237

1,2696

1,3996

1,3866

1,4791

1,4760

P3

1,4739

1,4740

1,7644

1,6098

1,8965

1,7137

r3,do2

P1

0,7571

0,8318

0,8444

0,9084

0,9222

0,9670

P2

0,8698

1,0736

1,0384

1,1725

1,1298

1,2481

P3

1,1733

1,2464

1,3370

1,3612

1,3800

1,4490

r3,do3

P1

0,7257

0,7540

0,8216

0,8235

0,8653

0,8766

P2

0,8679

0,9733

1,0168

1,0629

1,0711

1,1315

P3

1,1442

1,1299

1,3007

1,2340

1,3149

1,3136

Gambar 1. Scatter-Plot Ketepatan K-Prediksi terhadap K-Mizar

            Hasil uji ketepatan data menunjukkan bahwa tidak berbeda nyata antara K prediksi terhadap nilai K hasil pengamatan Mizar, dengan koefisien diterminasi (R2) =0,9281.

Ditinjau dari variabel diameter nosel (do),mempunyai hubungan yang linier dengan hasil bahwa semakin kecil diameter nosel, nilai K-Mizar maupun K-Prediksi akan semakin besar. Hal ini mencerminkan adanya ukuran gelembung yang dihasilkan lebih kecil, akan tetapi mempunyai frekuensi yang lebih banyak, sehingga memberikan peluang untuk menambah luasan kontak antara gelembung udara dengan air. Sedangkan di sisi lain akan mempercepat terjadinya proses difusi dari gelembung udara ke air.

Adanya gejala ini didukung oleh Cumby (1987) yang menjelaskan bahwa untuk meningkatkan performansi pada jenis peralatan aerator ini dapat dilakukan dengan cara memperkecil gelembung-gelembung udara yang keluar dari nosel.

Pada variabel kerapatan jumlah nosel tiap satuan luas (r), ternyata semakin banyak jumlah nosel tiap satuan luasnya akan memberikan kontribusi nilai K yang semakin meningkat dan secara empirik nilai K maksimum dicapai pada kerapatan jumlah nosel tiap satuan luas r3 = 16/m2 . Gejala ini disebabkan karena pada pemakaian kerapatan jumlah nosel yang lebih banyak tiap satuan luas akan diperoleh suatu bentuk penyebaran yang lebih baik, hal ini akan mendukung pemerataan absorbsi gelembung-gelembung udara oleh air, sedangkan di sisi lain pemasangan jumlah nosel yang semakin rapat (pada batas kerapatan tertentu), akan menambah jumlah gelembung-gelembung udara yang dihasilkan dan dengan sendirinya akan menambah luasan kontak antara gelembung udara dan air.

Lebih lanjut tinjauan mengenai kedalaman air (H), diperoleh adanya peningkatan nilai K yang maksimal pada tingkat kedalaman H3 = 0,75 m, karena pada tingkat kedalaman yang lebih rendah berarti tingkat volume air yang diaerasi lebih sedikit, sehingga untuk kondisi yang sama akan mengakibatkan hasil pengukuran konsentrasi oksigen yang terlarut dalam air (Ct) lebih tinggi (karena Ct diukur dalam satuan mg/liter), dengan demikian pada akhirnya akan meningkatkan nilai K. Kondisi untuk menurunkan kedalaman air biasanya sering dilakukan di lapangan, hal ini bertujuan agar batas optimum Ct dapat dicapai

KESIMPULAN

 

Berdasarkan hasil analisis empiris diperoleh :

  1. Koefisien laju perpindahan massa oksigen ke air (K) oleh aerator dengan udara terkompresi dipengaruhi oleh variabel-variabel : (1) tekanan udara keluar kompresor (P), (2) diameter lubang nosel (do), (3) kerapatan jumlah nosel tiap satuan luas (r), (4) kedalaman air (H), (5) koefisien difusi oksigen ke air (D), (6) rapat massa air (ρ), (7) tegangan permukaan air (σ), (8) viskositas air (μL), (9) viskositas udara (μG), dan (10) percepatan gravitasi (g).
  2. Persamaan empiris untuk mendapatkan nilai K :
  1. Nilai koefisien laju perpindahan massa oksigen ke dalam air (K) hasil pengamatan yang maksimal diperoleh pada harga-harga tekanan udara keluar kompresor (P) = 30 Psi atau 206843 N/m2, kedalaman air (H) = 0,75 m, diameter lubang nosel (do) = 1 mm dan kerapatan jumlah nosel tiap satuan luas (r) = 16/m2, pada batasan parameter perlakuan parameter yang telah ditetapkan yaitu : (1) suhu 26-26,5oC, (2) rapat massa air (ρ) = 993,83 kg/m3, (3) koefisien difusi oksigen ke air (D)=2,5.10-9 m2/detik, (4) viskositas air (μL) = 0,862.10-3 Pa.det, (5) viskositas udara (μG) = 1,84.10-5Pa.det, (6) tegangan permukaan air (σ) = 0,0718 N/m, dan (7) percepatan gravitasi (g) = 9,81 m/detik2.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, T. 1987. Perubahan Konsentrasi Oksigen Terlarut dalam Air Tambak Udang Windu yang Dikelola secara Semi Intensif. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai, Vol.3 (1) 1987:51-56.

Boyd, Claude E., 1979. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Agricultural Experiment Station. Auburn University, Auburn, AL, USA.

Cumby,T.R. 1987. A Review of Slurry Aeration, dalam Journal Agriculture Engineering Reasearch (1987) 36, 141-206.

Hammer,MJ. 1986. Water and Waste Water Technology. John Wiley and Sons, Singapore

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1323/1/tkimia-Hendra3.pdf [25/12/2011]

http://id.istanto.net/document/mekanika-fluida.pdf [25/12/2011]

http://id.wikipedia.org/wiki/Tegangan_permukaan [25/12/2011]

http://www.laju.com/id/lo_hi_aerator.php [25/12/2011]

http://id.wikipedia.org/wiki/Aerator [25/12/2011]

http://distantina.staff.uns.ac.id/files/2009/09/2-prinsip-perpindahan-massa.pdf%5B25/12/2011%5D

http://bcs.whfreeman.com/exploringchem3e/content/cat_080/pdf/Nonlinear_Least_Squares.pdf [25/12/2011]

Mizar, Alfian. 1996. Perpindahan Massa Oksigen oleh Compressed Air Aerator. Jurnal Ilmiah Program Studi Mekanisasi Pertanian.

Angka Nyata

Definisi Angka Nyata

Angka nyata merupakan angka dalam pengukuran atau hasil dari perhitungan dengan jumlah yang terukur yang terdiri dari semua angka terukur ditambah sebuah angka perkiraan.

Aturan untuk Angka Nyata

  1. Baca dari kiri dan mulai menghitung angka nyata apabila digit pertama bukan 0 (nol)
    1. Semua angka bukan nol adalah angka nyata (dihitung sebagai angka nyata), misalkan :
      1. 123 mempunyai tiga angka nyata
      2. 54321 mempunyai lima angka nyata
  2. Nol diletakkan diantara bukan angka bukan nol, misalkan :
    1. 101 mempunyai tiga angka nyata
    2. 2001 mempunyai empat angka nyata
    3. 10000002 mempunyai  delapan angka nyata
  3. Nol sebagai buntut yang letaknya diakhir nyata jika terdiri dari angka desimal, sebaliknya tidak nyata atau tidak dihitung, misalkan :
    1. 3.210 mempunyai empat angka nyata
    2. 150000. mempunyai enam angka nyata
    3. 150000 mempunyai dua angka nyata, kecuali jika diberikan informasi tambahan
  4. Nol ke kiri dari angka awal pertama tidak nyata (tidak dihitung); hanya placeholders
    1. 0.000123 mempunyai tiga angka nyata
    2. 0.012 mempunyai dua angka nyata
    3. 0.0000000000000012 mempunyai dua angka nyata
    4. Aturan untuk masalah penambahan/pengurangan

Hasil perhitungan tidak dapat lebih presisi daipada angka yang dioperasikan dalam perhitungan.  Dicari angka yang mempunyai digit yang paling sedikit di kanan desimal. Misalkan:

1.234 + 1.23 + 1.2 = 3.664 (sesuai kalkulator).

Angka 1.2 merupakan angka yang mempunyai angka dibelakang desimal terkecil yakni 1 angka nyata di kanan desimal. Maka hasil perhitungan yang benar adalah 3.7, dibatasi dengan satu angka nyata di kanan desimal.

  1. Aturan untuk masalah perkalian/pembagian

Jumlah angka nyata pada akhir perhitungan akan sama dengan banyaknya angka nyata paling sedikit yang digunakan dalam perhitungan. Misalkan :

(14.1 x 21.42) / 2.123 = 142.2618935 (sesuai kalkulator)

Angka 14.1 merupakan angka yang mempunyai jumlah angka nyata paling sedikit yakni tiga angka nyata. Sehingga hasil akhirnya adalah 142. yang mempunyai tiga angka nyata.

  1. Aturan untuk masalah kombinasi penambahan/pengurangan dan perkalian/pembagian

Pertama lakukan sesuai aturan penambahan/pengurangan (tentukan jumlah angka nyata untuk step tersebut) lalu gunakan aturan perkalian/pembagian.

  1. Aturan logaritma, jika L adalah logaritma dari A (L=logA), jumlah angka setelah desimal L sama dengan jumlah angka nyata A. Beda halnya apabila A merupakan antilogaritma dari L, (A = antilog L atau A = 10L), jumlah angka nyata A sama dengan jumlah angka setelah desimal L, misalkan :

Berdasarkan kalukalator:

  1. log(0.05478) = angka nyata 5,
  2. antilog(-23,562) = angka nyata 3
  3. Pengukuran dengan alat

Ilustrasi di atas meunjukkan bagaimana membaca posisi A dan B di mistar ukur. Pastinya terlihat bahwa A pada posisi 7.8 namun angka yang lebih presisi adalah 7.8 + lima per sepuluh jarak dari 7.8 dan 7.9 atau 0.05. Sehingga perkiraan panjang sampai pada posisi A adalah 7.85 dengan tiga angka nyata.

  1. Pembulatan angka

Aturan dalam membulatkan angka untuk memasukkan angka yang benar sebagai angka nyata yang diterima adalah sebagai berikut :

  1. Jika angka yang ingin diturunkan kurang dari 5, cukup dieliminasi
  2. Jika angka yang diturunkan lebih besar dari 5, eliminasi angka itu dan naikkan menjadi 1
  3. Jika angka itu adalah 5, diikuti dengan angka bukan nol, naikkan angka sebelumnya dengan 1
  4. Jika angka itu adalah 5, tidak diikuti dengan angka bukan nol, dan didahului dengan angka ganjil, naikkan angka sebelumnya dengan 1
  5. Jika angka itu adalah 5, tidak diikuti dengan angka bkan nol, dan didahului dengan angka nyata, maka tidak berubah
  6. Contoh pembulatan ke dalam tiga angka nyata :
    1. 3.478 = 3.48
    2. 4.8055 = 4.81
    3. 5.333 = 5.33
    4. 7.999 = 8.00
    5. Hasil rata-rata

Rata-rata dari sejumlah bacaan berturut-turut akan memiliki jumlah desimal yang sama. Seperti contoh menghitung rata-rata berat sebuah benda masing-masing 12.523 g, 12.497 g, 12.515 g. Jika dibagi dengan 3 maka hasil angka yang diperoleh dalam kalkulator adalah 12.51167 g. Dalam aturan ini, hasil yang tepat adalah 12.512 g, dimana jumlah angka setelah desimal sama dengan jumlah angka-angka berat masing-masing benda.

Contoh-contoh dalam Mendefinisikan Angka Nyata

No

Pengukuran/perhitungan

Angka Nyata

1 613

3

2 123456

6

3 5004

4

4 602

3

5 60000002

8

6 5.640

4

7 1200000

6

8 0.000456

3

9 0.052

2

10 0.00000000000000052

2

11 7.939 + 6.26 + 11.1

3

12 (27.2 x 15.63)/1.846

3

13 890

2

14 890.

3

15 0.0233 + 3.000

1

16 856 – 1.700

1

17 5.47/89.7

3

18 56.968/0.00000258

3

19 2.56×10-23 / 3.600×10-34

3

20 Log(0.05478)

5

21 Antilog(-23.562)

3

22 (2.06+log(250))/antilog(0.0213)

3

23 0.017000

5

24 2.032081

7

25 5 + 6

2

26 0.236 + 0.841

4

27 4.5 x 56

2

28 0.002 x 52189112

1

29 (132 + 2.53)/(345-371)

2

30 Antilog(0.56)

2

31 Log(25.302 + 5.0 /2.78)

4

32 0.0420

3

33 5.320

4

34 10

1

35 0.020

2

36 80.5300

6

37 2.4 x 103

2

38 2.1 x 3.24

2

39 10.2 x 8.24 x 1.8

2

40 20.45/2.4

2

Daftar Pustaka

Schmidt, Shaun Significant Figures.http://www.washburn.edu/…/sschmidt/…/Significant Shaun E. Schmidt, Ph. D last revised 9/13/2007 [9 April 2012]

http://www.sciencegeek.net/…/SignificantFigures.pdf. Significant Figures in Measurement and Calculations [9 April 2012]

http://www.uwec.edu/…/Significant%20Figures.pdf Rules for Significant Figures (sig figs, s.f.) [9 April 2012]

Keuntungan Perbaikan Sungai dengan Konsep Ekohidraulika

PENDAHULUAN

Sungai merupakan sistem yang terdiri dari banyak komponen yang saling berhubungan dan berpengaruh satu sama lain. Komponen penyusun sungai antara lain bentuk alur (river bed form), morfologi sungai (river morphology), dan ekosistem sungai (river ecosystem). Sungai merupakan sistem yang kompleks dengan pola baku percabangan yang tidak dapat didefinisikan secara mudah, mulai dari orde 1 sampai orde ke-n.  Kompleksitas sungai juga dapat dilihat dari distribusi kecepatan dan aliran sekunder yang saling berinteraksi dengan material dasar sungai dan ekosistem di sekitar sungai tersebut. Jika terdapat tumbuhan di sisi tebing sungai, maka kompleksitas aliran air sungai akan bertambah tinggi. Pembentukan meander, pulau-pulau kecil di tengah sungai menunjukkan kompleksitas di dalam sungai.

Sungai juga merupakan sistem yang teratur dimana segala macam komponen penyusun sungai memiliki karakteristik tertentu. Karakteristik ini menggambarkan kondisi spesifik sungai yang bersangkutan. Sistem sungai alamiah merupakan sistem sungai yang teratur dan komplek yang setiap komponennya saling berpengaruh satu sama lain (Maryono, 2002).

Keteraturan alur sungai berkaitan dengan bentuk alur dengan kemiringan memanjang dasar sungai, apakah alur sungai itu lurus, meander, atau bercabang. Bentuk meander sungai tidak berdiri sendiri, namun terkait dengan debit sungai bahkan fluktuasi debit sungai. Keteraturan bentuk meander juga dapat digambarkan dengan rumus hubungan antara debit sungai Q dengan panjang gelombang meander. Apabila dilakukan perubahan terhadap keteraturan ini, maka sungai cenderung berubah ke bentuk semulanya. Sehingga apabila sungai itu seharusnya mempunyai meander, setelah diluruskan pun akan selalu bermeander.

Salah satu bentuk keteraturan lainnya adalah pulau di tengah sungai. Bentuk pulau di tengah sungai merupakan bentuk universal dari suatu elemen yang bergerak dalam medium zat alir, termasuk segala bentuk fauna yang hidup pada aliran air. Konfigurasi pulau alamiah berupa susunan overlapping memiliki ketahanan terhadap aliran yang paling tinggi (angka resistansi yang rendah). Apabila konfigurasinya dirubah, maka akan terjadi instabilitas dimana keteraturan yang sudah terbentuk melalui proses hidraulis, ekologis, tektonis, dan geografis akan berubah menjadi ketidakteraturan.

Sedimen dan konfigurasi dasar sungai merupakan komponen dari sungai yang memberikan keteraturan dalam sungai. Pada sungai alamiah, kondisi dinamik material sedimen dasar sungai sudah mencapai kondisi stabil. Pengertian stabil disini adalah ketika jumlah sedimentasi terendapkan (agradasi) dan erosi terangkut (degradasi) relatif seimbang.  Perubahan pada kemiringan memanjang (slope) suatu sungai akan merubah keseimbangan. Apabila dinaikkan slopenya maka akan berakibat pada peningkatan pola tendensi degradasi, ukuran material penyusun dasar sungainya semakin kasar. Sebaliknya dengan menurunkan slope akan meningkatkan agradasi.

Dalam beberapa dasawarsa terakhr ini, pola dan cara pembangunan dan pemanfaatan potensi sungai negara-negara berkembang termasuk Indonesia, meniru cara-cara tahapan awal yang dilakukan oleh negara-negara maju abad-abad sebelumnya. Pengembangannya banyak ditekankan pada hidraulik murni yang tidak mempertimbangkan faktor ekologi dan dampak dari pembangunannya. Cara-cara lama tersebut di negara maju sudah menunjukkan dampak buruk, seperti banjir, erosi, kerusakan ekologi lingkungan secara terus menerus, sehingga cara tersebut sudah tidak digunakan lagi dan beralih ke konsep ekohidraulika. Konsep ini merupakan metode yang relatif murah, aman, dan keberlanjutannya tinggi, serta memiliki dampak positif konservasi air dan ekosistem yang tinggi.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dalam makalah ini akan disajikan keuntungan perbaikan sungai dengan pendekatan ekohidraulik bila dibandingkan dengan perbaikan secara konvensional (hidraulik murni).

KONSEP PEMBANGUNAN SUNGAI

            Dalam kasus pembangunan sungai di beberapa negara industri maju seperti Amerika, Jepang, Jerman, Belanda, dan beberapa negara Eropa lainnya telah mengalami tiga dekade/ tahap pengelolaan sungai, yaitu tahap pembangunan sungai (River Development), tahap mengalami dan mempelajari dampak pembangunan sungai yang dilakukan sebelumnya (Impact of River Development) dan tahap merestorasi atau merenaturalisasi sungai-sungai yang telah dibangun sebelumnya (River Restoration). Konsep pembangunan sungai tahap pertama pada umumnya bersifal parsial hidraulik murni sedangkan konsep pada tahap terakhir bersifat integral Ekohidraulik. Indonesia, sebagian besar metode pembangunan sungainya masih menggunakan metode tahap pertama river development atau hidraulik murni.

  1. Pembangunan Sungai dengan Konsep Hidraulika Murni

Konsep pembangunan hidraulika murni tidak mempertimbangkan aspek ekologi dan dampak yang akan terjadi setelah pembangunan. Metode ini telah merubah penampakan alami dan alur alamiah sungai menjadi buatan yang berbentuk trapesium dengan alur relatif lurus.

Beberapa pembangunan sungai yang dilakukan dengan konsep hidraulika murni antara lain koreksi sungai (river correction) atau normalisasi sungai berupa pelurusan, sudetan, penyempitan alur, penyederhanaan tampang sungai. Kegiatan lainnya adalah koreksi dan rekayasa sungai pada pembangunan transportasi sungai, regulasi sungai, proteksi tebing, pengerukan, dan penaikkan elevisi muka air. Pembangunan hydropower plan, bendungan, bendung, pencabangan, dan penggenangan termasuk ke dalam kegiatan koreksi dan rekayasa sungai. Sebagian besar dari tebing-tebing sungai dan daerah bantaran atau sempadan sungai hilang karena pelurusan-pelurusan, sudetan, pembuatan tanggul, dan pertalutan.

  1. Pelurusan sungai

Tujuan dari pelurusan sungai ini adalah untuk mengurangi banjir lokal, meningkatkan kebersihan kawasan, memperpendek lintasan transortasi, kemudahan navigasi transportasi sungai dan pembangunan hydropower plan. Dengan beda tinggi yang sama dan panjang alur yang lebih pendek, akan menghasilkan slope yang lebih besar sehingga kecepatan aliran tinggi. Indikasi dampak negatif dari pelurusan sungai ini adalah retensi tahanan aliran berkurang, peningkatan sedimentasi di daerah hilir, dan erosi di daerah hulu. Pemendekkan berdampak menurunkan tingkat peresapan (waktu untuk meresap ke dalam tanah) yang mengakibatkan banjir di hilir dan kekeringan (saat musim kemarau), sehingga konservasi air di hulu rendah.

  1. Penyudetan

Sudetan adalah usaha menyudet sungai yang bermeander di tempat-tempat tertentu, sehingga air sungai tersebut tidak melewati meander lagi, namun melintas langsung melewati saluran sudetan baru. Tujuannya adalah untuk mempercepat aliran air menuju ke hilir sekaligus mendapatkan tanah untuk pertanian serta mengurangi banjir lokal. Indikasi dampak negatif dari sudetan adalah retensi tahanan aliran berkurang, peningkatan banjir dan sedimentasi di daerah hilir, dan erosi di daerah hulu. Terjadinya exbow buatan yang terisolir sehingga menyebabkan ekosistem mati, menjadi sarang nyamuk, dan pembuangan sampah, bahkan menjadi wilayah pemukiman.

  1. Pembuatan bendung

Pembuatan bendung merupakan salah satu rekayasa di sungai untuk mengatur muka air sungai dan alur sungai. Indikasi dampak dari kegiatan ini adalah percepatan arus, erosi, dan sedimentasi di berbagai lokasi. Diperlukan pemeliharaan secara intensif dan terus-menerus.

  1. Proteksi tebing

Proteksi tebing adalah rekayasa sungai untuk memperkuat tebing dari gaya gelombang yang disebabkan oleh kapal atau dari arus sungai. Indikasi dampak negatif yang timbul akibat perkerasan tebing adalah terjadinya kepunahan ekologi sempadan sungai karena kondisi habitat ekosistemnya berubah total. Tumbuh-tumbuhan sepanjang pinggir sungai dihilangkan diganti dengan pasangan batu kosong atau isi.

  1. Penyempitan alur

Penyempitan alur merupakan usaha/pembangunan sungai yang merubah tampang melintang sungai alamiah menjadi alur dengan tampang teknis yang sempit. Penyederhanaan profil tampang sungai menjadi berbentuk trapesium atau segiempat. Profil ini dibuat dengan tujuan mempermudah pemeliharaan, mendrain kawasan, membersihkan kawasan, dan juga mempermudah hitungan hidroliknya. Dampak negatifnya adalah berkurangnya retensi alur sungai, rusaknya ekologi sungai, dan menurunnya konservasi air.

  1. Pembuatan tanggul

Pembuatan tanggul memanjang sungai adalah rekayasa teknik hidro dengan tujuan untuk membatasi limpasan atau luapan air sungai, sehingga banjir dapat dihindari. Namun kelemahannya adalah apabila terjadi kegagalan tanggul akan mengarah kepada jebolnya tanggul akibat rembesan karena bocoran konstruksi lapisan kedap air dan over tapping. Selain itu, bangunan ini tidak mampu menahan genangan yang relatif lama (lebih dari 2 hari).

  1. Pengerukan alur sungai

Pengerukan adalah rekayasa sungai yang dilakukan untuk memperbaiki alur dan tampang melintang sungai untuk pelayaran. Indikasi dampak pengerukan ini adalah penurunan resistensi alur sungai karena biasanya dilakukan jika di tengah-tengah sungai ada pulai gundukan pasir elemen sungai lainnya termasuk vegetasi tepi sungai tranportasi sungai.

  1. Pembangunan bendungan

Bertujuan membendung air sehingga didapatkan sejumlah volume air yang bisa digunakan untuk keperluan tertentu (misal memutar turbin kaitannya dengan pembangkit tenaga listrik, pengairan, konservasi dan rekreasi). Indikasi dampak negatif dari pembangunan bendung ini adalah interupsi ekologi sungai (misal fish migration) dan interupsi transport sedimen sungai. Akibatlain dari pembuatan bendung atau bendungan melintang sungai adalah terjadinya penggenangan (inundating) di bagian hulu bangunan, berkurangnya areal hutan atau pertanian yang signifikan, meningkatnya asam akibat pembusukan vegetasi dalam air, terjadi instabilitas angkutan sedimen sepanjang alur sungai terutama di hilir.

  1. Pembangunan Sungai dengan Konsep Ekohidraulika

Konsep ekohidrolika merupakan konsep pembangunan sungai integratif yang berwawasan lingkungan. Dalam konsep ini, sungai didefinisikan sebagai suatu sistem keairan terbuka yang padanya terjadi interaksi antara faktor biotis dan abiotis yaitu flora dan fauna disatu sisi dan hidraulika air dan sedimen disisi yang lain, serta seluruh aktivitas manusia yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan sungai (Gambar 1).

Gambar 1. Integralistik komponen ekologi-hidraulik (profil sungai)

Aktivitas yang dilakukan dengan konsep ini antara lain adalah restorasi sungai (river restoration), repitalisasi sungai (river revitalisation) atau renaturalisasi sungai (river renaturalisation). Maksud dari pembangunan sungai integratif dengan wawasan lingkungan tersebut adalah pembangunan sungai dengan memperhatikan faktor biotik (seluruh makhluk hidup-ekologi) dan abiotik (seluruh komponen fisik-hidraulik) yang ada di wilayah sungai. Beberapa aktivitas yang terkait dengan konsep ini antara lain :

  1. Aktivitas peningkatan retensi sungai dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan menanami kembali bantaran-bantaran sungai yang dulunya sudah dibersihkan atau diratakan pada saat pelurusan sungai. Vegetasi di sepanjang sungai tersebut akan dapat menurunkan kecepatan air mengalir ke arah hilir sekaligus menghidupkan dinamika sungai serta deversifikasi kecepatan, kedalaman air, turbulensi aliran dll.
  2. Dalam rangka meningkatkan ruang retensi sepanjang alur sungai, sehingga dapat menurunkan banjir di hilir maka dilakukan peningkatan retensi bantaraan sepanjang alur sungai dengan cara membuka lahan-lahan pinggir sungai yang secara geografis dapat dikembangkan menjadi kolam konservasi semi-ilmiah.
  3. Mengembalikan kondisi dinamik sungai dengan cara menanami daerah bantaran sungai yang hilang vegetasinya. Disamping itu juga dapat melakukan penggalian-penggalian sungai yang telah diluruskan dibuat berkelok-kelok lagi. Cara lain dengan membuat pulau-pulau buatan di tengah sungai. Dengan ini maka kecepatan aliran air akan berkurang, arus air akan terbendung secara tidak permanen. Muka air akan naik di bagian hulu dan di hilir turun serta timbul loncat air di beberapa tempat. Hal ini akan meningkatkan intensitas dinamik sungai. Cara yang lainnya adalah dengan membuat krib-krib sepanjang alur sungai yang sudah diluruskan secara berseling, sehingga terjadi proses perubahan dari alur lurus ke alur yang berkelok-kelok.
  4. Dengan menerapkan re-meandering, maka akan terbentuk struktur morfologi sungai yang dinamis yang padanya terdapat daerah erosi dan endapan, daerah dengan kecepatan tinggi, sedang dan rendah bahkan sangat rendah. Di samping itu juga terdapat daerah bantaran sungai yang lebar yang secara periodis dan dinamis mendapat suplai air dan nutrisi ekologis dari hulu. Dengan restorasi ini, maka didapat berbagai keuntungan antara lain :

1)      Alur sungai tidak teratur tersebut dapat meretensi aliran air, sehingga tendensi banjir di hilir bisa dikurangi.

2)      Menurunkan kecepatan aliran air, sehingga erosi di berbagai tempat di sungai ini bisa dihindari

3)      Flora dan fauna tumbuh kembali menuju komposisi flora dan fauna alamiah semula.

  1. Pembukaan lagi sungai-sungai lama yang telah ditutup untuk menambah kemampuan retensi air pada waktu banjir, sekaligus untuk menghidupkan kembali ekosistem sungai lama yang telah mati, meningkatkan konservasi lain, menurunkan kecepatan air, mengurangi resiko banjir hilir dan meningkatkan kualitas ekosistem dan menghidupkan kembali sungai lama.
  2. Menstabilkan muka air tanah dengan cara memperbanyak ruang retensi alamiah di bagian hulu dan meningkatkan resapan air hujan ke tanah dengan cara memperbanyak daerah tangkapan air hujan yang dilindungi.
  3. Metode bioengineering sebagai usaha untuk menggunakan komponen vegetasi (tanaman-tanaman dan di sepanjang bantaran sungai) untuk menanggulangi longsoran dan erosi tebing sungai dan kerusakan bantaran sungai lainnya. Metode yang murah dan mempunyai sustainibilitas yang tinggi.
  4. Konsep drainase ramah lingkungan dengan cara mengalirkan kelebihan air (air hujan) dengan cara meresapkan air ke dalam tanah, menyimpan dipermukaan tanah untuk menjaga kelembaban udara dan mengalirkan ke sungai secara proporsional sehingga tidak tidak menyebabkan tambahan beban banjir di sungai.

KESIMPULAN

Pada Tabel 1. Merupakan kesimpulan dari pada keuntungan konsep hidraulika dalam perbaikan sungai dibandingkan dengan konsep hidraulika murni (konvensional).

Tabel 1. Dampak perbaikan sungai

Ekohidraulika


Hidraulika murni

Memasukkan dan mengembangkan unsur ekologi atau lingkungan Merusak dan menghancurkan lingkungan
Banjir diartikan sebagai kerusakan lingkungan sehingga daya retensi lingkungan terhadap banjir hilang Banjir sebagai bukti munculnya daya rusak air yang hebat
Proyek reboisasi atau konservasi hutan untuk meningkatkan retensi dan tangkapan Sudetan, pelurusan, pembuatan tanggul, perkerasan tebing, normalisasi, pembabatan vegetasi bantaran justru menyebabkan bahaya banjir yang lebih besar dan frekuensi banjir yang lebih sering
Penataan tataguna lahan meminimalisir limpasan langsung dan mempertinggi retensi dan konservasi, dengan cara menanami atau merenaturalisasi sempadan sungai yang telah rusak Tendensi banjir di hilir tinggi dan menurunkan tingkat retensi di sepanjang sungai sehingga konservasi air akan menurun drastis
Dengan adanya meander dan vegetasi sebagai sistem dari sungai maka air tidak secepatnya ke hilir, dan masih ada kesempatan untuk meresap ke tanah Kekeringan akan lebih intensif karena pengatusan air secepatnya ke hilir, sehingga air tidak berkesempatan meresap ke tanah
Sungai bermeander dipertahankan sehingga dapat menyumbangkan retensi, mengurangi erosi, dan meningkatkan konservasi Bekas-bekas sungai atau lama yang terpotong (oxbow) akan menimbulkan masalah baru, misalkan sarang nyamuk, lahan pertanian, dan apabila sudah menjadi lahan hunian susah direstorasi karena memerlukan biaya yang cukup mahal
Investasi awal bisa lebih mahal ataupun lebih murah namun sustainable. Harus mengelurkan biaya tambahan untuk perawatan/pemeliharaan bangunan

Sehingga kesimpulannya konsep ekohidrolika dalam perbaikan sungai lebih menguntungkan dibandingkan dengan konsep konvensional seperti yang dilakukan selama ini di Indonesia.


 

DAFTAR PUSTAKA

Gunawan. 2007. Pengembangan Daerah Riparian di Badan Sungai dengan Pengembangan Konsep EkoHidrologi. ITB Press. Bandung.

Maryono, Agus. 2002. EKO-HIDRAULIK PEMBANGUNAN SUNGAI. Menanggulangi Banjir dan Kerusakan Lingkungan Wilayah Sungai. Program Magister Sistem Teknik. Fakultas Teknik. Universitas Gadjah Mada.

Maryono, Agus. 2003. PEMBANGUNAN SUNGAI DAMPAK DAN RESTORASI SUNGAI. Program Magister Sistem Teknik. Fakultas Teknik. Universitas Gadjah Mada.

Aplikasi LCA dalam Pemilihan Material Konstruksi – Atap genteng atau atap seng berglasur?

  1. “Goal definition and scoping”
Atap genteng berglasur (G) Atap seng (S)

Definisi dan deskripsi

Tujuan dari pekerjaan ini adalah untuk mengidentifikasi dan memperkirakan dampak lingkungan yang berhubungan dengan produksi atap genteng berglasur dari awal terbentuknya sampai habis masa pakainya (cradle to gate). Termasuk didalamnya ekstraksi bahan baku, produksi material dan transportasinya, serta produksi material atap genteng berglasur.Data diperoleh dari beberapa pabrik pembuat genteng berglasur yang terseleksi dan berlokasi di Portugal Tujuan dari pekerjaan ini adalah untuk mengidentifikasi dan memperkirakan dampak lingkungan yang berhubungan dengan produksi atap seng dari awal terbentuknya sampai habis masa pakainya (cradle to gate). Termasuk didalamnya penambangan bijih sampai menjadi seng halus (fine zinc), pengolahan bahan baku lain dan bahan tambahan, proses produksi lembaran seng, transportasi bijih dan seng murni yang digunakan untuk memproduksi lembaran seng.Data diperoleh dari pabrik pembuat atap seng RHEINZINK GmbH & Co. KG, Jerman  dan merupakan paduan seng halus dengan aditif dari tembaga, titanium dan aluminium, yang dikenal dengan RHEINZINK ® – Titanium Zinc

Proses pembuatan

Proses pembuatannya terdiri dari :

  1. Raw material preparation : bahan baku yang digunakan untuk membentuk genteng berglasur merupakan hasil tambang  mineral tanah liat. Bahan baku harus ditumbuk dan diklasifikasikan berdasarkan ukuran butirannya. Alat penghancur primer biasa digunakan untuk mengurangi material yang ukurannya besar. Bisa menggunakan jaw crusher atau gyratory crusher.
  2. 2.        Component mixing and Grinding : langkah awal dalam pembuatan genteng melibatkan pencampuran bahan. Kadang-kadang, air ditambahkan dan bahan-bahan yang sudah basah digiling atau ditumbuk dalam ball mill. Jika kelebihan air, maka air dibuang menggunakan filter bertekanan diikuti dengan pengeringan semprot.
  3. Forming and shaping of ware : Kebanyakan pembentukan genteng oleh dry pressing. Dalam metode ini, aliran bebas bahan yang mengandung pengikat bahan organik atau kelembaban rendah mengalir dari hopper ke cetakan. Material dikompresi dalam rongga baja dan kemudian dikeluarkan. Penekan otomatis yang digunakan mempunyai tekanan sebesar 2.500 ton.
  4. Drying of ware : Genteng berglasur biasanya harus dikeringkan (pada kelembaban tinggi) setelah pembentukan. Pengeringan dapat memakan waktu beberapa hari untuk mencegah susut karena retakan.
  5. Glazing and Firing: Pengglasuran dilakukan dengan melekatkan material gelas khusus (flint, feldspat, kaolin dan kapur) pada permukaan genteng pada saat genteng dibakar pada temperatur tinggi. Pembakaran genteng glasur memerlukan dua tahapan. Pembakaran pertama dilakukan untuk memperoleh genteng dalam keadaan setengah matang dan pembakaran kedua dilakukan setelah genteng diberi warna. Pada umumnya warna dalam glasur diperoleh dengan jalan menambahkan bahan-bahan pewarna kepada gelasur dasar yang tidak berwarna. Teknik pengglasuran kira-kira menggunakan suhu pembakaran 1.000oC yang disebut glasur frit, bahan-bahan glasur sebelum dipulaskan pada bodi (genteng), dileburkan dahulu, supaya menjadi kristal-kristal gelas. Proses pembakaran genteng yang sudah diberi glasur berguna untuk memperkuat dan membentuk porositas yang diinginkan

Secara skematik, proses pembuatan genteng berglasur ini dapat dilihat pada Gambar 1a, 1b, 1c

Proses pembuatannya terdiri dari:

  1. Pre-alloy : untuk meningkatkan kualitas dan penghematan energi. Proses ini dilakukan pada suhu 760oC pada pemanas induksi logam (melelehkan seng, tembaga, dan aluminium) . Sehingga menjadi paduan dari titanium dan tembaga (pre-alloy blocks).
  2. Melting : paduan blok (titanium dan tembaga) dilelehkan bersama dengan seng pada tempat pemanas induksi dengan suhu 500-550oC  dan diberi arus induksi.
  3. Casting : hasil akhir dari paduan seng, tembaga, dan aluminium didinginkan dibawah titik leleh dengan water circuit yang tertutup pada mesin pengecoran, sehingga menjadi padat (solid).
  4. Rolling : Pengerolan dilakukan dengan 5 pasang roller, yang disebut rak rol. Dengan tekanan yang memadai, ketebalan bahan berkurang hingga 50% pada setiap rak rol. Secara bersamaan, bahan didinginkan dan diberi minyak pelumas khusus.
  5. Coiling : Selanjutnya, bahan hasil no.4 digulung ke dalam gulungan besar. Bahan  masih pada suhu 100°C dan disimpan untuk pendinginan lebih lanjut.
  6. Stretching and cutting : Tegangan yang dikembangkan dalam RHEINZINK selama pengerolan ditarik dengan menggunakan “stretching-bending-straightening-process”.
  7. Preweathering : Setelah pembersihan, material hasil no 6 diukir dan dibilas. Proses pengukiran yang lengkap dilaksanakan secara kontinu pada proses operasi yang tertutup.

Secara skematik, proses pembuatan genteng berglasur ini dapat dilihat pada Gambar 2

Masalah lingkungan yang ditinjau

  1. Global Warming Potential (GWP) : sebuah sistem index yang membandingkan potensi gas rumah kaca untuk memanaskan bumi, dibandingkan dengan potensi karbon dioksida. Angka GWP ini tergantung dari daya serap infra-merahnya, panjang gelombang dari infra-merahnya sendiri, dan usia gasnya di atmosfer. Hubungan antara GWP dan ketiga faktor ini kompleks dan tidak linear. GWP diperoleh dengan menjumlahkan emisi dari gas rumah kaca dikalikan dengan faktor masing-masing GWP.
  2. Ozon Depletion Potential (ODP) : Relatif nilai yang menunjukkan potensi untuk menghancurkan lapisan ozon dibandingkan dengan potensi chlorofluorocarbon-11 (CFC-11) yang diberi nilai referensi 1. Dengan demikian, suatu zat dengan ODP 2 berarti dua kali lebih berbahaya dari CFC-11.
  3. Acidification Potential (AP) : didasarkan pada kontribusi dari SO2, NOx, HCl, NH3 dan HF untuk pengendapan asam potensial dalam bentuk H+ (proton).
  4. Eutrophication Potential (EP) : potensi nutrisi menyebabkan over-fertilisasi pada air dan tanah yang pada gilirannya dapat mengakibatkan peningkatan pertumbuhan biomassa
  5. Photochemical Ozone Creation Potential (POCP) : terkait dengan potensi VOCs dan oksida nitrogen yang menghasilkan fotokimia atau kabut panas. Hal ini biasa dinyatakan dalam nilai relatif terhadap faktor klasifikasi POCP untuk etilen.

Gambar 1a. Tahapan proses pembuatan genteng berglasur

(BREF Ceramics, 2007)

Gambar 1b. Tahapan proses dan alat yang digunakan untuk membuat genteng

(http://www.madehow.com)

Gambar 1c. Tahapan proses dan alat yang digunakan saat pengglasuran menjadi produk jadi

(http://www.madehow.com)

Gambar 2. Tahapan proses produksi genteng seng

  1.  “Inventory analysis”
    1. Atap genteng berglasur

Parameter yang digunakan untuk menggambarkan beban lingkungan dari proses terdiri dari input dan output. Input biasanya termasuk bahan/produk (misalnya zat kimia dan persiapan), bahan bakar, sumber daya (digunakan sebagai bahan baku atau energi) dan listrik. Output termasuk bahan/produk, energi, udara emisi, air limbah emisi dan limbah. Ecoinvent” database digunakan untuk memperoleh data produksi bahan bakar (gas alam dan diesel) dan produksi bahan kemasan (LDPE dan palet), baja, minyak pelumas, asetilen dan oksigen.

Tabel.1: Data primer pada inputan proses(unit referensi: 1 kg genteng berglasur)

Input

Jumlah

Unit

Tanah liat

1,28

kg

Pasir

0,11

kg

Air bersih

1,64E-04

m3

Air domestik

4,00E-06

m3

Listrik

1,07E-01

kWh

Gas alam

3,10E-03

MJ

Diesel

8,49E-02

MJ

Minyak pelumas

1,07E-04

kg

Plastik kemasan

1,95E-04

kg

EUR palet

7,18E-04

p

Steel casting

3,06E-05

Kg

Tabel.2: Data primer pada outputan proses(unit referensi: 1 kg genteng berglasur)

Output

Jumlah

Unit

CO

1,98E-01

Kg

CO2

1,98E-01

Kg

NO

2,27E-04

Kg

SO2

2,74E-05

Kg

F

1,80E-04

Kg

As

1,55E-08

Kg

Cd

7,50E-09

Kg

Cr

2,50E-08

Kg

Cu

1,11E-09

Kg

Hg

3,75E-09

Kg

Ni

1,40E-04

Kg

Pb

2,25E-07

Kg

Zn

3,80E-08

Kg

HCl

8,50E-05

Kg

PM10

1,16E-04

Kg

NMVOC

1,20E-05

Kg

CQO

6,39E-09

Kg

SST

2,19E-08

Kg

Oli

1,66E-09

Kg

Total limbah

5,35E-02

Kg

  1. Atap seng

Tabel 3, memperlihatkan penggunaan energi untuk memproduksi 1 kg lembaran seng. Penggunaan energi tidak terbarukan untuk memproduksi lembaran seng mencapai 45,5 MJ per kg. Hal ini terutama berasal dari produksi awal yang sudah baik ( campuran tenaga listrik dan penambangan konsentrat seng). Sekitar 81% dari energi tidak terbarukan dapat dialokasikan untuk pengolahan seng halus (fine zinc), dan 12%  proses re-melting pada fase pengolahan. Sebagai tambahan, 3,8 MJ dari energi terbarukan (sekitar 85% tenaga air, 4% energi angin dan 10% kayu) digunakan untuk memproduksi 1 kg lembaran seng.

Tabel 3. Penggunaan energi primer pada siklus hidup 1 kg lembaran titanium seng

Parameter

Unit per kg

Jumlah produksi dan potensi daur ulang

Produksi

Potensi daur ulang

Energi primer, tidak terbarukan

MJ

16,3

45,5

-29,2

Energi primer, terbarukan

MJ

0,94

3,81

-2,87

Evaluasi dari permintaan energi tidak terbarukan  untuk memproduksi 1 kg lembaran seng (Gambar 3) menunjukan bahwa sumber utama energi primer adalah uranium dan batu bara, yang secara keseluruhan menutup sekitar 60% dari kebutuhan energi primer. Secara relatif, nilai tinggi dari uranium berasal dari konsumsi energi untuk produksi seng halus yang ditutup dengan tenaga listrik campuran yang juga termasuk didalamnya tenaga nuklir.

Gambar 3. Rincian dari penggunaan energi primer untuk memproduksi 1 kg lembaran titanium seng

Analisis limbah yang diproduksi selama proses produksi 1 kg lembaran seng diperlihatkan dalam tiga bagian; 1) lapisan penutup / cadangan tempat pembuangan (berisi pengolahan bijih residu), 2) sampah perkotaan (berisi limbah rumah tangga dan sampah komersial), 3) limbah berbahaya termasuk limbah radioaktif (Tabel 5).

Dapat dikatakan bahwa tempat persediaan pembuangan merupakan jumlah terbesar dari lapisan penutup. Tempat pembuangan persediaan ini terutama dikaitkan dengan pembangkit listrik (ekstraksi batubara). Pengolahan bijih residu diperoleh dari ekstraksi dan pengolahan bijih konsentrat.

Parameter yang paling penting bagi sampah kota adalah sampah tidak spesifik. Semua parameter lainnya kurang penting.

Limbah berbahaya sebagian besar terdiri dari limbah dari proses awal, dan yang terpenting lumpur dari produksi konsentrat seng dan juga dari tenaga listrik. Limbah radioaktif secara eksklusif dihasilkan dari konsumsi listrik (tenaga nuklir).

Tabel 4. Produksi limbah selama siklus 1 kg lembaran seng

Parameter

Unit per kg

Jumlah produksi dan potensi daur ulang

Produksi

Potensi daur ulang

Lapisan penutup/cadangan tempat pembuangan

kg

3,66

8,42

-4,76

Sampah perkotaan

kg

0,209E-03

0,3E-3

-91.1E-6

Limbah berbahaya

kg

7,28E-03

17,4E-3

-10,1E-3

  1. “Impact Assessment”

Analisis dampak lingkungan pada masin-masing produk diperlihatkan pada Tabel 5. Data tersebut diambil dari sumber yang berbeda. Namun dikarenakan dalam unit referensi  yang sama, maka bisa dibandingkan diantara keduanya.

Tabel 5. Analisis dampak lingkungan (unit referensi : 1 kg produk)

Dampak

Atap genteng berglasur (G)

Atap seng (S)

Unit

Global Warming Potential (GWP)

2,98E-01

0,96

Kg.CO2 eq

Ozon Depletion Potential (ODP)

3,16E-08

0,176E-6

Kg CFC-11 eq

Acidification Potential (AP)

8,61E-03

3,32E-03

Kg SO2 eq

Eutrophication Potential (EP)

8,10E-05

0,277E-03

Kg PO4 eq

Photochemical Ozone Creation Potential (POCP)

8,79E-05

0,294E-03

Kg C2H4

Berdasarkan Tabel 5, nilai GWP, ODP, EP, dan POCP pada atap genteng berglasur lebih kecil dibandingkan atap genteng seng. Nilai AP pada atap genteng berglasur cukup tinggi. Hal ini bisa disebabkan emisi SOx timbul dari produksi energi listrik yang digunakan dalam peralatan selama tahap produksi genteng berglasur serta dalam pengolahan tambahan bahan. Genteng berglasur memiliki nilai terbesar, terkait dengan semakin tinggi suhu di tahap pembakaran. Pengasaman sangat terkait dengan emisi NOx dan SOx selama tahap atomisasi, pengeringan dan pembakaran dari genteng berglasur, serta selama pembakaran bahan bakar yang digunakan dalam transportasi sepanjang siklus hidup dari genteng berglasur

  1. “Interpretation”

Berdasakan hasil evaluasi terhadap “inventory analysis” dan “impact assessment” maka dipilih atap genteng berglasur sebagai pilihan yang lebih baik daripada atap seng.  Berdasarkan potensi dampak lingkungan memperlihatkan bahwa ata seng berpotensi menimbulkan dampak buruk lebih besar dari pada atap genteng berglasur. Adapun nilai AP pada atap genteng berglasur bisa diatasi dengan pengembangan proses produksi yang lebih baik lagi.

Daftar Pustaka

 

Anonim. 2007. Ceramic Manufacturing Industry August 2007. EUROPEAN COMMISSION.

Anonim. 2009.  Environmental Product Declaration according to ISO 14025. RHEINZINK® – Titanium Zinc of RHEINZINK GmbH & Co. KG. IBU – Institute Construction and Building e.V. Jerman.

Anonim. _____. Quality Management and Safety Engineering (BSc) – MST 326. Adisa Azapagic’s environmental impact classification factors. http://www.tech.plym.ac.uk/sme/mst324/MST324-05%20Azapagic.htm

Ecofys. 2009. Methodology for the free allocation of emission allowances in the EU ETS post 2012. Sector report for the ceramics industry. Öko-Institut.

http://www.madehow.com/Volume-1/Ceramic-Tile.html [5 Maret 2012]

http://www.scientific.net/MSF.591-593.521%5B5 Maret 2012]

Kegiatan Konstruksi dan Perubahan Kualitas Lingkungan – Pembangunan Waduk Kedungombo (WKO)

  • Nama Proyek Pembangunan : Pembangunan Waduk Kedungombo (WKO).
  • Jangka waktu pembangunan konstruksi                : Pembangunan fisik WKO mulai dilakukan pada tahun 1985 dan selesai pada tahun 1989.
  • Kondisi Geografis : Struktur wilayah berbukit dan bergunung di sebelah Barat dan Selatan merupakan dataran subur yang luas ke arah Utara dan Timur. Sebelah utara WKO merupakan dataran rendah, sedangkan sebelah selatan merupakan dataran yang relatif tinggi yang merupakan pegunungan kecil dan beberapa bukit.
  • Tujuan Proyek WKO : pemenuhan irigasi, pengendalian banjir, sarana pembangkit tenaga listrik, sarana penyedia air minum, sarana pariwisata, dan perikanan darat.
  • Bangunan Teknis : tapal kuda, yang terdiri dari tubuh bendungan utama sepanjang 1,6 km, bangunan pelimpah, bangunan penyadap, dan pembangkit tenaga listrik, serta terowongan penggelak.
  • Gambaran umum proyek :
  1. Lingkup rencana usaha dan/kegiatan yang akan ditelaah :

Komponen rencana kegiatan penyebab dampak

Dampak kegiatan proyek WKO terhadap lingkungan dapat terjadi pada tiga tahapan kegiatan, yaitu :

  1. Tahap Prakonstruksi

Pada tahap prakonstruksi kegiatan yang diperkirakan menimbulkan dampak adalah :

1)      Survei Lapangan

Survei lapangan terdiri dari kegiatan-kegiatan pengukuran serta kondisi existing, pemasangan patok, dan BM

2)      Pengadaan Lahan

Pengadaan lahan dilakukan dengan penentuan pemilik lahan, pengukuran luas lahan yang akan dibebaskan, negosiasi harga, dan pembayaran ganti rugi dan kompensasi

  1. Tahap Konstruksi

Pada tahap konstruksi akan berlangsung berbagai jenis kegiatan fisik. Komponen yang diperkirakan menimbulkan dampak potensial selama tahap konstruksi adalah :

1)      Mobilisasi tenaga kerja untuk konstruksi

Pengadaan dan mobilisasi tenaga kerja ini diperkirakan dapat menimbulkan kerawanan sosial karena timbulnya keresahan, kecemburuan, dan konflik dengan adat istiadat dan norma setempat

2)      Mobilisasi alat

Mobilisasi alat dengan menggunakan alat angkut diperkirakan akan menimbulkan dampak pencemaran udara, kebisingan, dan kerusakan jalan yang ada

3)      Pengadaan material

Diperkirakan kegiatan ini menimbulkan penurunan kualitas udara, bising, kualitas air, dan kesehatan masyarakat

4)      Pematangan lahan

Pematangan lahan akan menimbulkan pencemaran udara, kebisingan, dan penurunan kualitas air permukaan

5)      Konstruksi badan jalan

Konstruksi badan jalan akan dikerjakan dengan terlebih dahulu mengalihkan lalu lintas yang akan menimbulkan kemacetan, kebisingan, penurunan kualitas udara, dan kesehatan masyarakat

6)      Penyiapan tanah dasar

Penyiapan tanah dasar (pembersihan dan pengupasan tanah) akan menimbulkan pencemaran udara, kebisingan, dan penurunan kualitas air permukaan

7)      Pekerjaan cut and fill

Pekerjaan ini diperkirakan akan menimbulkan dampak peningkatan debu, kebisingan, kemacetan lalu lintas, dan peningkatan sedimen Run-Off

8)      Pekerjaan lapis perkerasan, bangunan pelengkap jalan dan jembatan

Dalam pekerjaan ini diperkirakan akan menimbulkan gangguan lalu lintas, bising, peningkatan sedimen sungai

  1. Tahap Operasi

Diperkirakan ada 2 (dua) kegiatan yang dapat menimbulkan dampak pada tahap operasi :

1)      Pengoperasian WKO

Pengoperasian WKO akan meningkatkan emisi, naiknya gangguan lalu lintas, gangguan kesehatan karena menurunnya mutu udara dan ambien. Hal ini berdasarkan adanya gejala waduk yang seringkali dijadikan objek wisata. Sehingga banyak kegiatan komersial dan non komersial yang terjadi di sekitar WKO

2)      Pemeliharaan WKO

Pemeliharaan jalan dan WKO berpotensi manimbulkan dampak pada kualitas udara dan kebisingan

  1. Komponen lingkungan yang terkena dampak
    1. Tahap Prakonstruksi

Pada tahap ini komponen yang terkena dampak lingkungan adalah :

1)      Pendapatan masyarakat akibat adanya kesempatan kerja dari kegiatan survei lapangan

2)      Persepsi masyarakat karena adanya pengadaan lahan

  1. Tahap Konstruksi

Pada tahap ini komponen lingkungan yang diperkirakan terkena dampak adalah :

1)      Kesempatan kerja dari kegiatan pengerahan tenaga kerja

2)      Perubahan fungsi ruang, lahan, dan tanah

3)      Flora dan fauna akan berkurang karena ekosistemnya telah dialih-fungsikan

4)      Tanah longsoran dari kegiatan penggalian dan penimbunan

5)      Kecelakaan/ kemacetan lalu lintas akibat lalu lintas kendaraan proyek

6)      Peningkatan pendapatan masyarakat akibat kehadiran para pekerja proyek yang membutuhkan makanan dan tempat tinggal

7)      Adat istiadat dan tata nilai karena beroperasinya basecamp para pekerja dari luar daerah

8)      Penurunan pendapatan akibat hilangnya kesempatan kerja karena kegiatan pengurangan tenaga kerja yang digantikan oleh mesin-mesin semi otomatis

9)      Kesehatan masyarakat akibat debu dan kebisingan

  1. Tahap Operasi

Komponen lingkungan yang terkena dampak pada tahap ini adalah :

1)      Kecelakaan penduduk akibat peningkatan lalu lintas para pengunjung WKO

2)      Hidrologi berupa adanya peningkatan run-off akibat perluasan jalan untuk memudahkan transportasi menuju WKO yang dijadikan objek wisata

3)      Peningkatan pendapatan akibat terciptanya kesempatan kerja dan berusaha dengan adanya peningkatan aktivitas perekonomian daerah pada saat kegiatan pengoperasian WKO

4)      Kesehatan masyarakat akibat kebisingan dan penurunan kualitas udara sebagai akibat dari kegiatan pengoperasian jalan

5)      Perubahan tata ruang, lahan, dan tanah akibat adanyanya peningkatan aktivitas ekonomi dan pariwisata

6)      Adat istiadat dan tata nilai karena peningkatan kegiatan pariwisata

  • Kesimpulan :
  1. Jika ditinjau dari segi lingkungan, maka proyek pembangunan WKO ini dikatakan tidak layak apabila banyak menimbulkan dampak negatif dari pada dampak positifnya. Dampak negatifnya seperti penurunan kualitas udara, kebisingan yang tidak memenuhi standar, sedimentasi dan run-off akibat perubahan tata ruang, penurunan flaura dan fauna darat, dll.
  2. Jika ditinjau dari segi teknis dan ekonomis, maka proyek pembangunan WKO ini dinilai layak karena kemampuannya mengairi sawah seluas 59.400 ha yang disalurkan oleh jaringan irigasi, pemenuhan irigasi sawah, pengendalian banjir, sarana pembangkit tenaga listrik, sarana penyedia air minum, sarana pariwisata, dan perikanan darat. Sehingga dapat meningkatkan perekonomian di wilayah sekitar WKO.

Catatan tambahan :

Dikarenakan keterbatasan sumber mengenai dampak yang lebih real maka layak dan tidak layak pembangunan proyek WKO ini masih bersifat subjektif dan dugaan. Namun pemikiran saya dalam mengevaluasi kelayakan tetap mengacu kepada peraturan UU No. 51 tahun 1993 tentang analisis mengenai dampak lingkungan, dan No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Kelayakan tersebut harus memperhatikan :

  1. Jumlah manusia yang terkena dampak
  2. Lamanya dampak berlangsung
  3. Intensitas dampak
  4. Banyaknya komponen lingkungan yang akan terkena dampak
  5. Sifat kumulatif dampak
  6. Berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya dampak tersebut

Daftar Pustaka

Silvia, Sinta Dewi. 2010. Pembangunan Waduk Kedung Ombo Dan Pengaruhnya Terhadap Produksi Padi Serta Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Di Kabupaten Grobogan (1981-2003). Skripsi. Universitas Diponegoro.

_______. 2010. Waduk Kedung Ombo http://grobogan.go.id/objek-wisata/waduk-kedung-ombo.html [23/02/12]

________. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 Tentang : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup